Seorang wanita yang selamat dari kecelakaan lalu lintas yang dahsyat, akhirnya berhasil membuka matanya pada bulan ke-lima. Sebagian otaknya rusak. Matanya terbuka, namun ia tidak mampu memberi respon atas rangsang cahaya maupun suara. Ahli saraf menyatakan ia berada pada level vegetasi, bahkan secara kasar ia dapat disebut sebagai “tanaman”.
Saintis Inggris dan Belgia kemudian memotret otaknya dengan instrument yang disebut Magnetic Resonance Imaging/MRI (alat yang mampu memperoleh gambaran isi dalam suatu objek dgn resonansi magnetis). Mereka demikian takjub saat mendeteksi adanya pola2 aliran darah tertentu pada bagian otak yang masih aktif dalam kepala si wanita. Mereka kemudian mencoba memberi perintah lisan kepada si wanita untuk membayangkan rumahnya, sekaligus meyakinkan diri mereka bahwa si wanita pada dasarnya mampu menangkap informasi tersebut. Saat melihat tampilan MRI-nya, mereka kembali terkejut, karena ternyata tampak adanya respon otak berupa pola2 aliran darah pada bagian yang berkaitan dgn navigasi dan pengenalan lokasi. Kembali mereka mencoba dgn perintah ke-dua. Si wanita diminta untuk membayangkan dirinya bermain tenis, tampaklah bagian otak yg mendorong gerak tubuh ikut bereaksi. Meskipun skala respon yg diberikan berbeda dgn respon org normal, hal ini tetap menunjukkan adanya kesadaran dalam diri si wanita lumpuh.
Sekarang, marilah kita mencoba melihat dunia dari diri si lumpuh. Bagaimana kita bisa merasakan keputusasaan saat ia menyadari ketidakberdayaannya dalam merespon tingkah laku sanak famili di hadapannya? Bagaimana ia mencoba untuk hidup dengan kesadaran penuh, namun kembali terjatuh ke dalam kehampaan?
Peertanyaan yang tersisa, apakah kita berhak melakukan euthanasia krn secara ekstrinsik dia bukan manusia lagi, dan kita yakin bahwa kematian adalah hal terbaik buatnya?
Reportase mengenai respon otak ini muncul pada akhir tahun lalu dan memberi dampak yg begitu mengejutkan krn telah membuka jalan bagi ilmu tentang kesadaran.
Hal yg sebelumnya berada pd ranah teologis, kini terbentang di hadapan dunia neuroscience dan siap untuk disingkapkan. Mungin saja kesadaran akan tetap menjadi misteri yang tak terkuak, namun yang jelas, keyakinan kita akan kesadaran manusia tampaknya telah mulai terguncangkan.
Bisa dikatakan, riset mengenai kesadaran adalah suatu hal yang menggembirakan sekaligus terasa begitu mengganggu. Rene Descartes menyatakan: keadaran adalah hal yg paling hakiki dalm diri manusia. Agama menjelaskan bahwa kesadaran tinggal dalam jiwa, dalam ruh, sesuatu yg membuat manusia tetap hidup. Kesadaran adalah hidup itu sendiri, esensi dari empati, dan pondasi moral. Sains telah mencoba menyelami lebih dalam masalah kesadaran ini dengan membuang praduga2 spritual tsb, untuk membuat kesadaran menjadi suatu objek yang ‘ada’ dan tersentuh.
Kesadaran tidak berhubungan dengan bahasa. Bayi, binatang, dan pasien2 kerusakan otak pada kenyataannya tidak pernah menjadi robot, sepasif apapun mereka. Mereka tetap bisa memberikan respon atas keberadaan seseorang di dekatnya.
Kesadaran sama sekali berbeda dengan ”Self Awareness” , karena larutnya kesadaran kita di tengah alunan musik atau kegiatan2 fisik dan mental tertentu seperti sensasi seksual, tidak menyebabkan hilangnya kontrol diri atas respon2 inderawi.
Sumber: Time, February 2007
Saintis Inggris dan Belgia kemudian memotret otaknya dengan instrument yang disebut Magnetic Resonance Imaging/MRI (alat yang mampu memperoleh gambaran isi dalam suatu objek dgn resonansi magnetis). Mereka demikian takjub saat mendeteksi adanya pola2 aliran darah tertentu pada bagian otak yang masih aktif dalam kepala si wanita. Mereka kemudian mencoba memberi perintah lisan kepada si wanita untuk membayangkan rumahnya, sekaligus meyakinkan diri mereka bahwa si wanita pada dasarnya mampu menangkap informasi tersebut. Saat melihat tampilan MRI-nya, mereka kembali terkejut, karena ternyata tampak adanya respon otak berupa pola2 aliran darah pada bagian yang berkaitan dgn navigasi dan pengenalan lokasi. Kembali mereka mencoba dgn perintah ke-dua. Si wanita diminta untuk membayangkan dirinya bermain tenis, tampaklah bagian otak yg mendorong gerak tubuh ikut bereaksi. Meskipun skala respon yg diberikan berbeda dgn respon org normal, hal ini tetap menunjukkan adanya kesadaran dalam diri si wanita lumpuh.
Sekarang, marilah kita mencoba melihat dunia dari diri si lumpuh. Bagaimana kita bisa merasakan keputusasaan saat ia menyadari ketidakberdayaannya dalam merespon tingkah laku sanak famili di hadapannya? Bagaimana ia mencoba untuk hidup dengan kesadaran penuh, namun kembali terjatuh ke dalam kehampaan?
Peertanyaan yang tersisa, apakah kita berhak melakukan euthanasia krn secara ekstrinsik dia bukan manusia lagi, dan kita yakin bahwa kematian adalah hal terbaik buatnya?
Reportase mengenai respon otak ini muncul pada akhir tahun lalu dan memberi dampak yg begitu mengejutkan krn telah membuka jalan bagi ilmu tentang kesadaran.
Hal yg sebelumnya berada pd ranah teologis, kini terbentang di hadapan dunia neuroscience dan siap untuk disingkapkan. Mungin saja kesadaran akan tetap menjadi misteri yang tak terkuak, namun yang jelas, keyakinan kita akan kesadaran manusia tampaknya telah mulai terguncangkan.
Bisa dikatakan, riset mengenai kesadaran adalah suatu hal yang menggembirakan sekaligus terasa begitu mengganggu. Rene Descartes menyatakan: keadaran adalah hal yg paling hakiki dalm diri manusia. Agama menjelaskan bahwa kesadaran tinggal dalam jiwa, dalam ruh, sesuatu yg membuat manusia tetap hidup. Kesadaran adalah hidup itu sendiri, esensi dari empati, dan pondasi moral. Sains telah mencoba menyelami lebih dalam masalah kesadaran ini dengan membuang praduga2 spritual tsb, untuk membuat kesadaran menjadi suatu objek yang ‘ada’ dan tersentuh.
Kesadaran tidak berhubungan dengan bahasa. Bayi, binatang, dan pasien2 kerusakan otak pada kenyataannya tidak pernah menjadi robot, sepasif apapun mereka. Mereka tetap bisa memberikan respon atas keberadaan seseorang di dekatnya.
Kesadaran sama sekali berbeda dengan ”Self Awareness” , karena larutnya kesadaran kita di tengah alunan musik atau kegiatan2 fisik dan mental tertentu seperti sensasi seksual, tidak menyebabkan hilangnya kontrol diri atas respon2 inderawi.
Sumber: Time, February 2007