Tuesday, January 24, 2006

Daurah-daurah


Saya jarang sekali menulis tentang ini, mungkin tidak pernah malah. Saya tahu, saya bukanlah muslim yang taat, dan saya tahu pasti bahwa seharusnya saya malu untuk menyadarainya apalagi untuk mengakuinya.

Sebagai seorang muslim (walaupun belum 'apa-apa') saya juga tahu kalau menuntut ilmu akhirat jauh lebih utama daripada ilmu dunia. Wah bayangkan saja, saya sudah belajar sejak bangku sekolah sampai perguruan tinggi, lebih dari 17 tahun. Sejak saya bisa membaca (baik huruf latin maupun Al-Quran) hampir 70% total umur saya, 'cuma' saya pakai buat belajar ilmu keduniaan, apalagi ini dengan catatan sisa yang 30% itu adalah kondisi saya yang masih buta huruf...maka bisa saya pastikan, kans saya masuk surga alangkah tipisnya (walaupun saya tahu bahwa masuk-tidaknya seseorang baik ke neraka maupun surga tentu adalah Hak Allah mutlak), paling tidak daya tawar saya kecil lah...

Maka kemudian saya mencoba mendengar daurah-daurah atau kajian-kajian yang dipunyai oleh beberapa teman saya. Beberapa kali saya perhatikan isinya, Masya Allah...saya jadi tahu satu hal, yaitu: saya belum apa-apa kalau kudu mengaku Islam. Bayangkan, mendengar kata syariat saja masih samar-samar gelap, ibadah sholat yang 5 waktu saja belum kepegang, padahal andaikata saja syariat (yang mendasari ibadah dan pengabdian kepada Rabb kita) mampu kita laksanakan, bukankah ujian dan cobaan buat kita yang nota bene merupakan ukuran keridloan-Nya, masih akan sangat banyaknya.

Saya coba pikirkan, kalau saya hidup di dunia bukan untuk mencari keridloan-Nya, lalu apa yang mesti saya cari? Mengejar dunia itu tak akan ada habisnya. Andaikata manusia diberikan 1 lembah berisi emas, maka dia akan minta 2 lembah, demikian seterusnya.
Bahkan selama ini saya hanya memicingkan mata melihat pelajaran agama..begitu mudah saya sebut mereka teroris, kaum fundamental, saya ghibahkan dan saya fitnah mereka seolah saya orang suci dan seolah mereka terlalu kotor untuk saya kenal apalagi akrabi, saya anggap remeh mereka dengan sebutan-sebutan yang jauh dari nilai kesopanan sesama muslim, lalu apakah saya bisa disebut muslim? sholat saya saja tidak sempurna...saya mestinya malu, bahkan kalau perlu malu telah dilahirkan ke dunia hanya untuk membangkang!
Sekarang saya baru tahu apa beda Ahlussunah dan Khawarij (teroris), padahal selama ini begitu mudah saya panggil mereka dengan julukan semacam itu. Padahal khawarij itu adalah segolongan umat yang mengaku Islam, namun tak lebih dari sekedar anjing (Sahabat Rasullullah memanggil mereka dengan sebutan anjing neraka). Sahabatku maafkan aku...

Selama ini saya malu sebenar-benar malu untuk mendengar daurah-daurah, saya malu kalau harus menghadapi 'ejekan' orang lain, saya malu mengatakan "saya mau ke Masjid" saat ditanya hendak kemana, bahkan mungkin saya lebih malu membaca Qur'an dengan suara keras dibanding melihat-lihat gambar-gambar tak senonoh, Ya Tuhan..kemana saya selama ini..bukankah saya harusnya sadar, bahwa siapapun yang menghalangi muslim untuk beribadah, menghina dan melecehkan muslim yang beribadah dengan kesengajaan, sungguh halal darahnya..dan orang-orang semacam inilah yang disembelih Abu Bakar Radliallahu 'anhu, dan jika saya malu dengan orang-orang semacam ini, mau dikemanakan iman saya ?? apakah saya lebih malu kepada mereka yang fasiq dibanding kepada-Mu?

Saya tahu pasti, bahwa keimanan saya masih begitu jauh dari keridloan-Mu.
Saya masih malu 'beraga Islam', Ya Allah ampunkan...
Saya bangga menjadi pembangkang yang dengan sengaja menolak sembahyang, seolah manusia yang tidak punya agama, Ya Allah ampunkan...
Saya terlalu sibuk mencari alasan untuk tidak menjalankan perintah-Mu, entah karena alasan apa, Ya Allah ampunkan...
Saya berkawan karib dengan syaitan, dan membiarkan dia membuat saya malu akan kebenaran Dien-Mu, Ya Allah ampunkan....
Saya dengan santai mengatakan bahwa Engkau belum memberi hidayah saat saya lalai, padahal suara Muadzin dan para peyeru-Mu menerobos ke dalam telingaku, Ya Allah ampunkan...
Saya sibuk memandang baik diri saya dan memandang sangat-sangat rendah para ahli ibadah, saya jauhi mereka, bahkan saya begitu jijik kepada mereka, seolah saya akan masuk surga tanpa ditanyai apa-apa tentang rusaknya iman saya, Ya Allah ampunkan...
Saya memandang terlalu baik pada diri saya sedangkan saya tak lebih hanyalah sampah yang begitu fasik membangkang, Ya Allah ampunkan...

Saya berdoa, semoga Allah selalu memberikan jalan yang terbaik, amien...

Thursday, January 19, 2006

Quotes of The Day



Quotes :

bersiaplah untuk setiap kemungkinan, karena terkadang kemungkinan terbaik adalah yang terburuk.

dont ask about their loves, you better have a reason to be loved
we all want something more and it is worth fighting for

Kalau di dunia ini semuanya berjalan dengan baik, selama kita melakukan perintah-Nya dan tak menyakiti sesama, maka di atas sana semuanya akan baik-baik saja. (Leo Tolstoy dalam Alyosha)

semakin saya berusaha untuk 'memahami', semakin saya tidak 'paham' dan semakin saya merasa tidak 'dipahami'.

tentu saja jalan yang jarang dilalui orang, seringkali punya lebih banyak semak dan duri.

manusia kebanyakan seperti bulan, hanya indah dari kejauhan.

kegagalan adalah kegagalan, sama sekali bukan keberhasilan yang tertunda, sebab kalau anda gagal dan kemudian tetap bekerja dengan metode & pola yang sama, maka jangan harapkan keberhasilan. Jadi maaf, saya bukan keledai apalagi kedelai.

Perang Korea



Perang Korea...Sebuah perang yang benar-benar telah membelah Korean menjadi utara dan selatan, telah pula membuat jutaan orang kehilangan sanak saudara.

Saya seringkali mendengar nama perang yang satu ini, namun saya tidak mengerti banyak hal tentangnya. Saya pikir Perang Korea cuma semacam perang antar kabupaten atau antar propinsi, paling-paling ribuan orang yang jadi korban, ga besar-besar amatlah...

Beberapa 'fakta' tentang perang korea (keberpihakan catatan diperdebatkan) :

sebab umum : awalnya pada masa PD II Korea adalah milik Jepang, setelah Jepang menyerah pada 1945, seperti halnya yang terjadi pada Jerman, daerah-daerah rampasan perang dibagi dua oleh tarik ulur kekuatan2 pemenang perang, yaitu AS dan sekutunya (liberalis) dan Soviet (komunis). Jadilah daerah utara yang lebih dekat ke RRC berpaham komunis, dan selatan mendapat dukungan AS. Kepentingan AS tentu penguasaan semenanjung Korea dalam menghadapi perang dingin melawan USSR dan RRC, di kemudian hari.Masing-masing kepala 'boneka' baik di utara (Kim Il Sung) maupun selatan (Syngman Rhee)berusaha mempersatukan semenanjung Korea menurut garis politik masing-masing. Kim memutuskan untuk memulai penyerangan ke selatan, dan pada pertengahan 1950 Stalin menyetujuinya. Pada Juni 1950, 135.000 prajurit Korut menyerbu melintas perbatasan (38th parallel). Mereka meligitimasi serangan dengan menyatakan bahwa tentara Korsel telah lebih dulu melanggar perbatasan. Perang dimulai.

Peristiwa : Seoul jatuh ke tangan Korut (akhir juni 1950), Presiden Truman kemudian memerintahkan Mc Arthur yang mengepalai US Army di Jepang untuk membantu Korea, Truman terbang ke PBB meminta dukungan dan pada 27 Juni beberapa negara barat siap tandang ke Korea, perang pertama antara tentara AS vs Korut dimulai pada 5 juli,Mc Arthur mengadakan operasi Incheon untuk menusuk pasukan Korut dari belakang (September 1950), Pyongyang jatuh ke tangan sekutu (Oktober 1950), RRC ikut memasuki medan pertempuran atas perintah PM Zhou Enlai dengan 270.000 tentara pada 25 Oktober, tentara AS mundur pada akhir November 1950, kembali Seoul jatuh ke tangan Korut pada Januari 1951, Truman memecat Mc Arthur dari posisi komandan tentara AS (April 1951) karena beberapa faktor antara lain karena keinginannya untuk membom atom RRC, diadakan negosiasi damai di Kaesong korea selatan (Juli 1951), Presiden baru AS Eisenhower mencoba menghentikan konflik dan datang ke Korea pada November 1952, Selanjutnya dibangun DMZ (Demilitarized Zone) pada Juli 1953, hingga hari ini penyelesaian damai belum memperoleh kejelasan secara final.

Fakta : lebih dari 2 juta orang tewas termasuk tentara AS dan RRC, 85% dari sekitar 1 juta orang Korsel yang tewas adalah warga sipil, hampir setengah juta tentara AS tewas, dan lebih dari 700.000 tentara RRC serta beberapa ratus pilot Soviet jadi korban. Yang lebih traumatis, lebih dari 7 juta orang terpaksa harus kehilangan/terpisah dari sanak familinya.

Perang Korea benar2 merupakan 'proxy war' antara Soviet vs AS. Dan tak cuma Korea yang jadi kebrutalan pertentangan politik 2 kutub itu, sebut saja Vietnam dan (mungkin) juga Indonesia. Yang menjadi pertanyaan tentu saja adalah, berapakah harga sebuah
dominasi? begitu kejamkah nafsu berkuasa yang dimiliki manusia? berapa nyawakah yg diperlukan bagi pengukuhan sebuah kekuasaan? 1, 2, 3, 10, 100 juta, 1 miliar, atau malah kalau perlu mengorbankan seluruh manusia di dunia?
Ada orang pernah bilang, kalau saja manusia hanya punya akal dan nafsu tanpa budi dan nurani, maka saat dia tergores duri kecil pun, dia pasti akan berniat menghancurkan bumi...

Wednesday, January 18, 2006

Leo Nikolaivich Tolstoy



Saya beli juga buku Tolstoy (dia besar di akhir 1800-an) ke dua, setelah yang pertama (Ziarah) saya beli 2 tahun kemarin.
Buku kedua -Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu - sama halnya dengan yang pertama, juga kumpulan cerpen. Saya lebih suka cerpen daripada novel. Dengan cerpen saya bisa lebih cepat memperoleh 'soul' cerita, jadi kalau tiba-tiba sesuatu terjadi, saya punya probabilitas yang lebih besar untuk meraih 'soul'itu lebih dahulu dibanding pada novel.

Awalnya saya pikir -karena Tolstoy orang Rusia- dia pengarang yang punya haluan komunis..ha ha bodoh sekali pikiran saya itu. Setelah saya baca cerpen-cerpen dan sedikit biografinya -saya tidak tahu apakah saya senang atau malah kecewa- saya baru mengerti kalau dia jelas-jelas berbeda dengan dugaan saya. Paling tidak, saya akhirnya tahu kalau Tolstoy adalah seorang yang sangat religius.

Satu hal yang saya dapat dari cerita-ceritanya: usaha peningkatan dalam Spritual Quotient. Jauh dari pikiran awal saya tentang komunis (mulanya saya pikir semua Russian = komunis) yang menyebut agama sebagai tipuan kamera atau fatamorgana kehidupan, Tolstoy telah menerobos jauh ke dalam dunia transendensi antara manusia dan Tuhan. Terkadang dia terlalu ekstrem dalam mencontohkan ketawadu'kan sosok manusia, seringkali pengungkapan kisah tragis seorang manusia yang nrimo atas segala kehendak-Nya, sebagaimana Tolstoy berkisah tentang Alyosha. Mungkin inilah yang membuat Tolstoy dianggap anarkis. Seolah dia mencintai akhir yang sangat absurd bagi tokoh-tokohnya, penilaian khuznul khotimal atau suul khotimah yang tentu menjadi milik/otoritas pembaca. Tetapi bukankah memang nilai atas segala sesuatu dalam kehidupan seringkali seperti 2 sisi uang logam, terpisah dalam jarak yang begitu tipis. Penilaian antara Mata Tuhan Yang Kudus dan mata manusia yang profan. Tolstoy mau mengajarkan dan membebaskan banyak orang dari dekadensi kesucian dalam paradigma manusia yang penuh nafsu, stigma dan teramat pragmatis...kisah bagus dalam judul translasi "Berapa Luaskah Tanah yang Diperlukan Sesorang?"

Tolstoy seolah membicarakan tentang makna dalam kehidupan. Dan tentu saja apa yang lebih puitis dalam hidup dibanding makna?
Pemaknaan itu jauh lebih berharga daripada hidup itu sendiri. Begitu banyak orang besar yang menggadaikan hidupnya demi pemaknaan, lihat saja Rasululah. Demi makna Ketuhanan beliau menolak kekayaan, beliau menolak tawaran keselamatan lahir batin dan memilih tetap berjuang di jalan Allah.

Kearifan spiritual adalah inti pembicaraan Tolstoy, bukan masalah bendera, bukan masalah jubah, bukan masalah janggut, bukan masalah masjid, bukan masalah gereja, bukan tentang fanatisme agama, bukan tentang tarbus dan surban, bukan tentang pengkafiran orang lain, bukan tentang penghujatan, tetapi semua tentang penyadaran ruhani pribadi-pribadi.
Sebab kita hidup di dunia ini tidak sendiri dan tentu saja punya arti...
Sebab percuma kita mengaku beragama namun saban hari kita cuma sekadar benalu bagi sesama..

Monday, January 16, 2006

Masalah Manifesto



Mungkin ini isu yang ketinggalan jaman...manakah yang lebih penting manifesto politik, ataukah manifesto kebudayaan?

Sedikit kilasan sejarah. Jaman jaya-jayanya Bung Karno dulu (1960-an), kata-kata Manifesto Politik benar-benar keramat, orang bisa jadi panutan atau tahanan dengan frase tersebut. Pemerintah (baca 'Pemimpin Besar Revolusi') selalu mendengungkan apa yang namanya Politik Adalah Panglima, semua hal harus mendukung 'revolusi politik' Sang Big Boss, di luar itu tentu bakal terhantam kereta api revolusi. Sedangkan istilah 'revolusi' sendiri mungkin saja dimaksudkan sebagai pembersihan anasir-anasir barat, yang dirasa selalu mengancam dengan "nekolim" atau neo kolonialisme dan imperialisme, certainly yang dimaksud di sini adalah AS dan sekutunya, serta musuh-musuh politik sang Pemimpin Besar. Ini lebih cepat 6 tahun dibanding RRC di bawah Mao Zedong, yang baru meluncurkan Cultural Revolution-nya (formula politik yang mirip) di tahun 1966.

Perwujudan manifesto politik merasuk ke semua sektor, termasuk seni dan budaya. Hal ini dibaca dengan baik oleh Lekra yang sukses memproduksi beragam kesenian berbau propaganda anti barat, anti liberalisme, anti kapitalisme.
Kemudian karena merasa seni dan budaya telah dikotori politik (padahal tentu saja tak ada 'barang' yang lebih kotor dari itu), banyak seniman seperti HB Yasin dan Mochtar Lubis memproklamirkan Manifesto Kebudayaan, pensucian seni dan budaya sebagai hasil cipta-rasa-dan karsa manusia, dan bukan demi kepentingan politik yang terlalu berjelaga.

Pada tahun 1905, Lenin pernah berkata, "Kesenian seharusnya menjadi alat, menjadi sekrup bagi perjuangan kaum proletar". Hal ini lah yang mungkin dipakai sebagai semacam justifikasi bagi blending menifesto politik ke badan-badan budaya. Dan mungkin juga, ini pula yang dipakai untuk melegalkan penangkapan seniman-seniman manifesto kebudayaan.

Saya berpikiran, seni dan budaya yang cuma hasil dan bukannya menjadi alat bagi kemajuan bangsa agaknya kurang berguna. Buat apa ribuan candi kita agung-agungkan sebagai hasil peradaban luhur jika rakyat tetap miskin dan kelaparan. Mungkin terkesan utilitarian, tetapi saya yakin akan terdengar lebih realistis. Orang boleh bilang, "manusia juga haus akan estetika", namun bagi saya, jumlah mereka yang 'haus' dan sedang kelaparan, sangat tidak berimbang. Kemajuan seni budaya yang melepas diri dari kebutuhan dan tuntutan hidup masyarakat, terkesan terlalu naif buat saya.

Di sisi lain, soal tunggang-tunggangan kepentingan seperti model manifesto politik juga tidak masuk akal bagi saya, sebab saat virus politik merambati budaya, kita tidak lagi bicara soal estetika, tetapi soal tujuan dan kepentingan. Jika orang saling menyembelih atas nama kebudayaan, itu sebuah paradoksal yang sangat di luar nalar. Bagaimana mungkin manusia menjadi barbar atas nama budaya dan estetika? Seperti halnya, bagaimana bisa manusia menjadi lebih kejam daripada setan saat berjuang atas nama Tuhan? Bagaimana bisa?
Kalau ternyata memang hal-hal tersebut layak berlaku, maka saya khawatir, akan banyak yang memilih untuk tidak berbudaya, bahkan tidak bertuhan malah.

Kalau harus memilih antara manifesto politik atau budaya, akhirnya dengan berpikir sedikit maka memilih yang ke dua. Setidaknya saya tidak terancam disembelih..setidaknya saya tidak kena cipratan 'peceren' politik

Adore Bra, lift up your personality!


Saya dengar iklan dari tv di kamar sebelah, "Adore Bra, lift up your personality!". Tampaknya kalau tak salah membayangkan, iklan tsb adalah promo alat kecantikan, sejenis pakaian dalam bagi wanita, yg dapat memberikan efek pembesaran sepasang 'organ' tubuhnya. Sebetulnya tidak ada yang salah dengan upaya2 semcam itu, hak asasi wanita tentunya untuk memperbesar maupun memperkecil bagian tubuhnya, saya sih tidak punya hak untuk melarang-larang dan juga tak berkeinginan untuk dukung mendukung, terserah mereka lah. Yang sedikit mengganjal bagi saya adalah semboyan pariwara tadi, "lift up your personality!". Apakah ada keterkaitan antara personality/kepribadian dengan ukuran suatu organ tubuh? Apakah wanita yang ber'itu' besar menunjukkan jati dirinya sebagai wanita yang berkepribadian?

Memang saya pernah dengar, di abad-abad kuno, wujud wanita 'seharusnya' menunjukkan posisinya sebagai ibu, perlambang kesuburan, jadi pikir saya ukuran organ-organ yang memang mendukung posisi tersebut tentu saja kemudian menjadi penting. Tetapi itu hanya perlambang kesuburan, personifikasi wanita sebagai bumi yang menyayangi segenap manusia. Dan jelas, bukan masalah kepribadian, karena personality adalah masalah batin, bukan lahir.

Damardjati menulis: Lahir dan batin tidak untuk dipertentangkan, hanya saja kenyataan memperlihatkan bahwa hidup yang serba kelahiran itu cenderung merajalela, padahal lahir itu hanyalah alat untuk mengejawantahkan cahaya batin yang melingkupi relung hati, sehingga bisa membumi, melahirkan Heaven on Earth, surga dunia dan akhirat, bukan malah sebaliknya. Bagaimana bisa fisik menentukan kepribadian? sebab kalau ini benar, betapa tidak mungkinnya pandawa menang atas kurawa, betapa omong kosongnya kisah-kisah di kitab suci.

Secara tidak sadar, melalui berbagai media, kriteria kebagusan fisik telah meracuni pikiran manusia, karena dia dibangun dan diterjemahkan secara global, bahkan mungkin suatu saat tidak ada lagi kecantikan/kebagusan fisik yang sifatnya individual. Kalau semua common sense menjadi nilai objektif, maka penggerak roda-roda media yang notabene para pemilik modal (baca:kaum kapitalis)adalah mereka yang memiliki otoritas (secara riil) terbesar untuk mengarahkan nilai-nilai objektif itu. Dan tanpa sadar kita menerimanya. Dan sekarang, yang mulai mem-booming adalah kapitalisasi tubuh (baca: seksualitas), semua hal dinilai dengan simbol-simbol seks, dari handphone, permen, pompa air, hingga seperi yang saya dengar tadi pagi, soal kepribadian.

Keterkaitan logis? itu tidak penting! bilang saja, "kalau 'itu' saya gede, maka saya tambah PD, kalau saya tambah PD, insyaAllah saya bisa menjadi perempuan yang disenangi banyak orang". Sesungguhnya ada dekadensi di sini, betapa kita menepiskan penyadaran kita bahwa dalam kapitalisme keuntungan adalah segalanya, bukan masalah pembangunan moral atau citra hidup, bukan masalah kesehatan atau religiusitas, dan bukan masalah mode atau lifestyle. Itu semua tidak penting, yang terutama jelas laba, hal-hal lain adalah tugas media untuk melakukan propaganda untuk menunjangnya.

"Adore Bra, lift up your personality!"...kapitalisme tampak terang-terangan menunjukkan taringnya..sayang sekali kurang berseni, padahal menipu pun butuh sentuhan estetika...

Saturday, January 14, 2006

Virus Materialisme



Satu bulan terakhir ini saya ikut membantu proyek seorang dosen di eks tempat saya kuliah.
Awalnya hanya sekedar mengisi waktu luang (sehubungan dengan anggapan saya bahwa kesehatan otak saya dapat terganggu akibat banyak menganggur, dengan side effect tentunya saya mendapat penghasilan.

Seiring berlangsungnya pekerjaan saya, dari tugas ke tugas, dari uang honor ke uang honor, pikiran saya mulai berubah. Ya! otak saya mulai berganti pandangan saat saya mulai mendapat banyak uang. Saya akhirnya tidak berpikir lagi tentang berapa banyak waktu luang yang bisa saya bunuh dengan pekerjaan saya ini. Dalam benak saya hanyalah berapa uang lagi yang saya harus dapatkan. Ini mengerikan!! benar-benar menakutkan saya akhir-akhir ini...Saya khawatir kalau saya kudu terjun bebas ke dalam kapitalisme atau materialisme.

Kesan yang saya dapat berbeda sekali antara pendapatan dari orang tua saya di satu sisi, dan penghasilan yang saya peroleh sendiri di sisi lain. Saya justru lebih bertanggungjawab untuk uang yang saya dapat dari rumah. Sedangkan materi yang saya bisa usahan sendiri, membuat saya tak berpikir panjang untuk memakainya menyenangkan diri dan menumbuhkan virus hedonisme. Hilang sudah semua idealisme, filantropisme, dan kearifan sosial.

Materialisme, benar-benar sesuatu yang terlalu jahat untuk saya bayangkan.
(Dan mungkin saya masih terlalu muda untuk punya banyak harta)

Absurditas



Apakah hidup itu benar-benar absurd? tak salah mungkin kalau banyak orang akhirnya menjadi skeptis.

Dalam teori termodinamika dikatakan bahwa setiap perubahan di alam ini akan selalu menyebabkan peningkatan entropi. dalam hal ini, simpelnya entropi adalah ukuran tingkat kekacauan. Dari sebuah tatanan yang (mungkin) sempurna, tatanan terbaik di awal-awal umur dunia, kemudian mengalami dekadensi di semua lini, keruntuhan demi keruntuhan, pengotoran demi pengotoran, tak pernah kita lihat bumi makin hari makin sejuk-makin bersih, yang ada adalah sebaliknya. Setiap kekacauan yang 'diselesaikan' menghasilkan puluhan bibit kekacauan lain yang siap tumbuh.

Sejarah penciptaan manusia ternyata begitu sulit ditangkap akal sehat, bahkan semasa saya sekolah dulu, saat belajar teori evolusi, guru saya selalu bilang untuk melepaskan pandangan agama saat itu. Teka-teki ini terlalu tinggi untuk otak manusia. Siapa yang menjamin di surga nanti (andaikan surga yg kita tuju seperti/sama dengan surga yg dulu dihuni Adam) kita tidak menemukan buah terlarang. Bagaimana jika buah itu tetap ada, dan ada seorang manusia dalam surga itu yg memakannya, dan semua kemudian menjadi seperti sediakala? kalau itu benar semua yg berlaku sekarang hanyalah omong kosong.

Saya ingat teori Murphy, jika dari beberapa kemungkinan ada 1 saja kemungkinan terburuk yang cenderung merusak, maka seseorang pasti akan ada yang mengambilnya, sekecil apapun probabilitasnya. Kerusakan akan terus terjadi, pasti, selambat apapun itu. Usaha-usaha perbaikan seakan penuh kepercumaan, bahkan sel-sel tubuh kita pun sudah diprogram untuk rusak dan bunuh diri massal. Untuk apa kita punya harapan-harapan jika semuanya sebenarnya cuma menuju jurang keruntuhan, penderitaan, dan di alam akhirat kita ditunggu neraka jahanam. Mau kemana lagi kita?

Orang Jawa bilang, "Urip kuwi mung mampir ngombe", hidup itu cuma numpang minum, numpang lewat, melepas dahaga sebentar untuk melanjutkan perjalanan menuju keabadian. Saya kira ada benarnya, meskipun menurut banyak orang terdengar terlalu apatis, bisanya cuma nrimo saja, tidak mau usaha dst. Tetapi mungkin saja, orang-orang lain itu yang sebenarnya sedang melebih-lebihkan kehidupan, memperbanyak ketakutan dalam dirinya, takut miskin, takut sampai mati tidak punya pasangan, takut menderita, takut sakit, takut malu di depan orang-orang. Sampai-sampai gaya hidup mereka jauh lebih penting daripada hidup itu sendiri. Siapa yang bodoh sekarang?

Kitab suci bilang, hidup ini permainan penuh tipuan. Ada lagu menyebut, hidup ini cuma panggung sandiwara. Ada filsuf meracau, hidup hanya menunda kekalahan dan sebaik-baik nasib adalah tidak dilahirkan.

Terlalu banyak nada sumbang tentang kehidupan. Kita tak juga mengerem diri dalam masalah keinginan. Setelah dekat kita ingin pacaran, setelah pacaran kita ingin tunangan, setelah tunangan kita ingin pelaminan, setelah pelaminan kita ingin keluarga, setelah keluarga ternyata tak bahagia kita ingin perselingkuhan, setelah ketahuan kita ingin baikan, setelah baikan ingin perubahan, setelah perubahan gagal kita selingkuh lagi, setelah semua kacau lalu bercerai dan ribut gono gini, lalu kawin lagi, dan membuat kacau lagi. Kalau saja dari awal benar-benar 'sadar' bahwa hidup bukan destinasi terakhir, cukuplah sampai menikah dan berusaha berkeluarga bahagia, ataupun sebelum pacaran mengerem diri untuk hanya sekedar teman, tak perlu cari-cari masalah, berusaha menyabarkan diri sampai akhir, toh hidup tak bernilai apa-apa dibanding hari kemudian, baunya pun tidak.

Hidup memang absurd.
Tugas kita mestinya adalah survive di tengah segala absurditas ini, for keeping our consciousness.
Bukan berusaha menjadi Tuhan dengan banyak-banyak keinginan, karena ini pengkhianatan.
Kita datang ke dunia tidak membawa apa-apa, jadi kalau sekarang kita tidak punya apa-apa, ya tidak apa-apa...

Friday, January 13, 2006

Bisnis di Lampu Merah



Banyak bisnis yang bermula di lampu merah

Saya baru memperhatikan, jadi mungkin sedikit basbang.
Ternyata lampu merah benar-benar telah menjadi lokasi strategis bagi dunia bisnis. Sebuah tempat yang dapat diibaratkan sebagai 'slot' iklan, atau semacam space bagi pemasangan banner, yang betul-betul efektif, langsung menuju calon konsumen, wajah ke wajah, dan yang lebih penting lagi, space ini benar-benar free alias gratis tanpa pajak ataupun sewa pasang iklan. Mulai dari promo tempat potong rambut, usaha bimbel dan perguruan2 tinggi palesu, penggemukan dan pengurusan badan, bisnis properti, warung dan cafe anyar, konser musik dan wayang, kos-kosan, sedot WC, jahit dan sablonase, bengkel, MLM, koran dan majalah, obat-obatan, iklan usaha abortus (dengan samaran "urusan telat datang bulan"), toko komputer dan alat2 elektronik, penyedia pembantu sapai tukang pijet and tukang sunat, lengkap!
Tentu saja usaha investasi akhirat yang sering kali fiktif (baca: pengemis), tidak masuk hitungan dunia enterpreneur yang layak dipertimbangkan di sini.

Saya bilang,lampu merah adalah fenomena. Bisa saja, usaha-usaha besar yang memenuhi BEJ dan BES bermula juga di lampu merah, siapa tahu. Kalau benar demikian, maka tepat jika dikatakan bahwa lampu merah telah menjadi salah satu di antara pusat-pusat ekonomi mikro, yang pada dasarnya jauh lebih berperan bagi penyehatan ekonomi nasional, ketimbang usaha-usaha besar yang rentan krisis.
Keberadaan lampu merah sebagai salah advertisement spot di tanah air kita, selayaknya kita apresiasi. Paling tidak, ada sedikit pengalih perhatian saat kita kudu menunggu lampu menyala hijau.

Lampu merah adalah sebuah fenomena

Wednesday, January 11, 2006

Keadilan Individual


Kalau Soe Hok Gie selalu berpikir tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka berbeda dengan saya, sebab belakangan ini saya terbayang-bayang oleh apa yang saya sebut sebagai keadilan individual bagi setiap manusia, sama sekali tidak mulia dibandingkan yang pertama. Tema yang terlalu out of date, namun secara misterius muncul dalam kepala saya, dalam situasi yang juga misterius dan tiba-tiba.

Saya tidak juga mengerti sampai sekarang, mengapa ini kerap mengganggu pikiran saya. Tampaknya orang lain baik-baik saja...apakah mungkin benar-benar ada yang salah dalam kepala saya, tetapi saya tidak tahu apa.

Berbeda dengan Gie, saya percaya ada keadilan di muka bumi, bukan cuma di langit ke 7. Yakin! This world was made perfectly. Cuma saya tidak juga mengerti, saya tidak menolak...hanya belum paham. Mungkin karena logika yang berjalan tidak sesuai dengan algoritma berpikir saya. Secara matematis:
usaha yg sempurna (PW) +kesempatan yg sempurna (PC) = keberhasilan (S)
Tetapi ternyata tidak, sebab yang terjadi selalu:
US + KS + keberuntungan yang sempurna (GL) = keberhasilan

dengan PW (perfect work), PC (perfect chance), S (success), GL (Good Luck)

Nah ternyata pokok permasalahan adalah pada GL. Terkadang aspek GL menguasai lebih dari 90% medan. Untuk orang-orang yang belum sadar seperti saya, akan merasa kalau GL ini hadir secara random, di luar penalaran, tak bisa diperkirakan, tak bisa diperhitungkan, dan sulit dihadirkan.Akhirnya saya berkecenderungan, bahwa keadilan individual ini sangat ditentukan oleh keberadaan GL.

Janji Tuhan: siapa yang bersyukur Ku tambah nikmat-Ku, siapa yang ingkar sungguh azab-Ku teramat pedih.Pertanyaannya, bagaimana jika kita sudah bersyukur dengan segenap cara, namun keadilan individual tak juga kita rasakan?Tentu jawabannya adalah: kita belum bersyukur dg sebenar-benarnya (jawaban yang begitu dibenci kaum humanis). Pikiran saya, saat kita benar-benar bersyukur, maka perspektif kita akan dunia yang profan ini akan serta
merta berubah. Pemberian tak kita nilai lagi dari baik dan buruk, sebab "yang buruk" lebih baik darpada tidak diperhatikan sama sekali.Sungguh sebuah tipuan (sekali lagi menurut humanis).

Namun ini janji Tuhan, dan sekiranya kita percaya kepada Tuhan, siapakah lagi yang lebih bisa memegang janji melebihi Dia...saya bingung perlukah saya menuntut keberuntungan saya? jangan-jangan menuntut sama artinya engan tidak bersyukur..
Wah susah juga rupanya hidup di dunia
susah juga jadi manusia

Ya Tuhan, kuserahkan keadilan individual-ku kepada-Mu
Dan tolong hilangkan ini dari pikiranku
amien..

Sebuah tulisan yang sangat basbang!

Sunday, January 08, 2006

Sikat Gigi



Suatu pagi, si sikat gigi mengaku pada saya:
"Sebelumnya saya selalu berpikir bahwa saya adalah makhluk paling menderita di bumi, sampai akhirnya saya bertemu si tisue toilet.."

Saturday, January 07, 2006

Pulang ke Jogja



Kemarin saya sempat mengantarkan seorang teman -yang sudah bekerja kota S dan kebetulan mampir- melihat lingkungan tempat tinggalnya dulu di seputaran kampus, di sebuah PTN di jogja.
Melihat jalan-jalan dan rumah-rumah yang dulu begitu akrab dengan keseharian hidupnya, dia bilang, "mengapa tempat ini tampak menjadi begitu aneh". "Mengapa?", tanya saya. "Ya, saya dulu tinggal di sini, entah kenapa terasa berbeda saja, saya lupa kapan saya terakhir kali meninggalkan Jogja dan entah kapan saya bisa ke sini lagi..", jawabnya.

Mungkin buat saya yang masih tinggal di Jogja, hal-hal seperti ini tidak berarti apa-apa, dan saya belum juga mengerti perasaan 'aneh' dari mana, yang bisa dirasakan orang saat diajak 'kembali' ke kehidupan lalunya.
Ayah saya dan juga seorang kakek saya, selalu ingin melihat-lihat lingkungan kampusnya dulu, kalau beliau mampir ke Jogja. Apa menariknya? pikir saya.

Akhirnya saya sadar, bahwa semuanya bukan sekedar masalah jalan dan bangunan, bukan plang-plang ataupun tiang-tiang, bukan pada apa yang dilihat, tetapi lebih pada apa yang dirasakan dan pernah dirasakan. Wajah-wajah kawan dulu, keseharian yang begitu berbeda dengan masa sekarang, susah senang yang dulu mereka alami, kenangan-kenangan sentimentil...Ya, bangunan itu, jalan itu, plang dan tiang-tiang itu, telah menuntun mereka kembali, dan mencoba membuka-buka apa yang telah teralami, terasai dan masih teringat dalam begitu sempitnya ruang otak untuk memahami kehidupan...
Sedikit keinginan terbersit mungkin untuk 'mundur' ke masa lalu, walaupun sejenak....

Saya percaya, kota ini telah mengambil 'hati' begitu banyak orang, begitu banyak perantau, yang kini hidup dengan kenangan-kenangan, yang sesekali meminta dimunculkan kembali, melalui jalan-jalan, bangunan, tiang-tiang, senyuman tukang becak, teriakan para kondektur bus kota yang banyak asap, macet-macet malioboro, padatnya perempatan Mirota, anak jalanan yang mengamen tanpa irama, jalanan Pogung yang becek di musim hujan, siaran Swaragama, foto-foto jaman mahasiswa, jual ronde malam-malam di Bunderan, lampu-lampu di gedung pusat, beringin di pojokan Biologi, mungkin juga deretan jual gudeg jalan kaliurang subuh hari...

Saya percaya kenangan semacam ini mungkin akan saya alami suatu saat. Saya yakin.

"pulang ke kotamu, ada setangkup haru dalam rindu..."
KLA bernyanyi di radio saya pagi ini.

Friday, January 06, 2006

Tentang Santet-santet


Saya baca berita, ada jaksa yang disantet, kasurnya dipenuhi belatung.Si Jaksa pun curhat ke atasannya. Tak lama berselang, sang atasan omong lewat media, "Perhatian buat semua dukun, santet-santetan ga bakal menang lawan kejaksaan agung!". Tentang anak buahnya itu dia komentar, "Saya bilang ke H, masalah santet itu sudah biasa, seharusnya dia siap sejak menerima jabatan ini".

Saya terperanjat dengan berita tersebut. Kemudian saya ingat bahwa sepertinya Undang-undang anti santet sudah masuk ke KUHP.Wah-wah ada yang salah dengan negara ini pikir saya, mudah-mudahan tidak ada negara lain yang mentertawakan hal-hal beginian.Masalahnya sepele, kalau banyak hal yang teramat sukar dinalarkan sudah dijadikan alsan untuk ini itu, habislah daya pikir kita, matilah rasio bangsa ini, dan kembalilah kita ke jaman Raja-raja kuno dimana rakyat tetap membebek dalam kebodohan dan kemiskinan. Tentu mereka yakin seyakin-yakinnya bahwa 'kebodohan' dan 'kemiskinan' mereka adalah sepenuhnya peran yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada mereka.

Bagaimana mungkin negara ini menganggap begitu serius hal-hal bodoh dan jauh dari akal sehat itu. Benar-benar ini sudah menjadi batu sandungan bagi lompatan pencerahan...

Wednesday, January 04, 2006

Situasi Sekarang Terasa Begitu Berbeda



Di saat kita merasa waktu begitu pendek, maka seolah situasi tampak begitu berbeda.
Banyak hal kemudian terasa tidak ada manfaatnya.
Dan saya menjadi semakin tidak perduli.

Saya tidak menyalahkan keadaan
Sebab sebelumnya kita memang tidak 'punya' apa-apa, dan sekarang -pada akhirnya- jika kita tak 'punya' apa-apa, maka itu tidak apa-apa.

Paling tidak saya sudah banyak membantu, mudah-mudahan itu (pernah) berguna.

[jangan takut berharap-tapi jangan harapkan ketakutan]

Tuesday, January 03, 2006

Gorila Semak yang Bodoh



(Yahoo news) Mon Jan 2, 8:04 PM ET

"WASHINGTON - A new book on the government's secret anti-terrorism
operations describes how the CIA recruited an Iraqi-American
anesthesiologist in 2002 to obtain information from her brother, who was a
figure in Saddam Hussein's nuclear program. Dr. Sawsan Alhaddad of Cleveland made the dangerous trip to Iraq on the
CIA's behalf. The book said her brother was stunned by her questions about
the nuclear program because — he said — it had been dead for a decade."

Bangsat!! apa-apaan ini??!! Saya yakin tidak ada sekumpulan orang yang lebih bodoh daripada para tuna grahita di kabinet gorila semak-semak itu...

Hal Bodoh dari Laki-laki Bodoh



Kenapa zaman sekarang cowok susah didapatkan? (narsisme yang sangat tidak tahu malu)

1. Cowok yang baik, mukanya jelek.
2. Cowok yang ganteng, kelakuannya jahat.
3. Cowok yang ganteng dan baik ternyata GAY.
4. Cowok yang ganteng, baik, dan hetero udah nikah.
5. Cowok yang tampangnya ga terlalu ganteng tapi baik, biasanya kere.!!!
6. Cowok yang ga terlalu ganteng tapi baik dan kaya berpikir perempuan hanya tertarik pada uangnya.
7. Cowok yang ganteng tapi kere hanya ngincer uang perempuan. ugh! mati aja!!
8. Cowok ganteng yang ga terlalu baik terus hetero, ngerasa perempuan yang ada kurang cantik.
9. Cowok yang menganggap perempuan yang ada cantik, terus hetero, terus lumayan baik dan berduit, biasanya pengecut.
10.Cowok yang ganteng, lumayan baik dan berduit,dan hetero, ternyata terlalu pemalu dan ga mo maju duluan.
11.Cowok yang ga mau maju duluan malah il-feel sama perempuan yang maju duluan. cowok maunya apa siih?"

Saya bingung untuk memilih posisi no berapa...

Perkumpulan-perkumpulan Primordial


Saya punya teman -orang dari daerah lain- sesama mahasiswa di kota ini.

Saya ingat, suatu kali saya bertanya kepadanya, "Saya dengar mahasiswa-mahasiswa dari daerah kamu punya perkumpulan-perkumpulan sendiri, benar begitu? Saya lihat jaketnya suatu kali. Lantas mengapa saya tidak pernah melihatmu memakai jaket semacam itu, kamu tidak ikut rupanya?"

Dia jawab, "Wib, jaman begini masih bicara soal perhimpunan-perhimpunan primordial, mau jadi apa kita? sebagai intelektual (lebih suka saya ingat dgn kata 'mahasiswa') bukankah seharusnya kita membangun jembatan-jembatan transkomunal, bukan sebaliknya mengekalkan pemikiran-pemikiran tradisional yang feodalistik."

Saya bilang, "mungkin dengan begitu mereka dapat banyak kemudahan dalam bertahan hidup di perantauan?"
Teman itu menjawab ketus, " Sebuah pragmatisme yang dibungkus primordialisme, itu omong kosong! Mereka frustasi dan membawa kejayaan nenek moyangnya ke tanah orang."

Saya diam saja, untuk kemudian tidak pernah menyinggungnya lagi...

Tukang Kutip

"Semua orang sepertinya punya maksud baik. Yang tersisa hanya soal cara. Yang terakhir inilah yang seringkali membuat maksud tersebut menjadi sukar dipahami"

"Kejujuran itu seperti matahari. Akan terasa menyakitkan pada dosis yang terlalu tinggi"

"Kehormatan memang tidak bisa dibeli, namun punya banyak harta tentu saja sangat membantu dalam mendongkrak penawaran"

"Banyak bicara sedikit kerja itu burung kakaktua, sedikit bicara banyak kerja itu pencuri. Bekerjalah seperti layaknya anda berbicara"

"Kita terlalu sering berdoa untuk meminta kemenangan. Padahal permohonan agar tidak menangis saat menderita kekalahan, sudah lebih dari cukup"

"Kalau menurut anda menangis dapat membuat segalanya lebih baik, maka menangislah. Kalau tidak, lebih baik anda diam"

"Kalau pada akhirnya anda tahu bahwa semua hanyalah soal purpose, jangan kecewa dengan teman anda, sebab mungkin itulah alasan buat apa anda dilahirkan..ha ha ha"

Monday, January 02, 2006

Tahun Baru


Selamat Tahun Baru..
(apapun artinya itu)

sudahlah...
toh hari esok siapa yang tahu...