Saturday, January 14, 2006

Absurditas



Apakah hidup itu benar-benar absurd? tak salah mungkin kalau banyak orang akhirnya menjadi skeptis.

Dalam teori termodinamika dikatakan bahwa setiap perubahan di alam ini akan selalu menyebabkan peningkatan entropi. dalam hal ini, simpelnya entropi adalah ukuran tingkat kekacauan. Dari sebuah tatanan yang (mungkin) sempurna, tatanan terbaik di awal-awal umur dunia, kemudian mengalami dekadensi di semua lini, keruntuhan demi keruntuhan, pengotoran demi pengotoran, tak pernah kita lihat bumi makin hari makin sejuk-makin bersih, yang ada adalah sebaliknya. Setiap kekacauan yang 'diselesaikan' menghasilkan puluhan bibit kekacauan lain yang siap tumbuh.

Sejarah penciptaan manusia ternyata begitu sulit ditangkap akal sehat, bahkan semasa saya sekolah dulu, saat belajar teori evolusi, guru saya selalu bilang untuk melepaskan pandangan agama saat itu. Teka-teki ini terlalu tinggi untuk otak manusia. Siapa yang menjamin di surga nanti (andaikan surga yg kita tuju seperti/sama dengan surga yg dulu dihuni Adam) kita tidak menemukan buah terlarang. Bagaimana jika buah itu tetap ada, dan ada seorang manusia dalam surga itu yg memakannya, dan semua kemudian menjadi seperti sediakala? kalau itu benar semua yg berlaku sekarang hanyalah omong kosong.

Saya ingat teori Murphy, jika dari beberapa kemungkinan ada 1 saja kemungkinan terburuk yang cenderung merusak, maka seseorang pasti akan ada yang mengambilnya, sekecil apapun probabilitasnya. Kerusakan akan terus terjadi, pasti, selambat apapun itu. Usaha-usaha perbaikan seakan penuh kepercumaan, bahkan sel-sel tubuh kita pun sudah diprogram untuk rusak dan bunuh diri massal. Untuk apa kita punya harapan-harapan jika semuanya sebenarnya cuma menuju jurang keruntuhan, penderitaan, dan di alam akhirat kita ditunggu neraka jahanam. Mau kemana lagi kita?

Orang Jawa bilang, "Urip kuwi mung mampir ngombe", hidup itu cuma numpang minum, numpang lewat, melepas dahaga sebentar untuk melanjutkan perjalanan menuju keabadian. Saya kira ada benarnya, meskipun menurut banyak orang terdengar terlalu apatis, bisanya cuma nrimo saja, tidak mau usaha dst. Tetapi mungkin saja, orang-orang lain itu yang sebenarnya sedang melebih-lebihkan kehidupan, memperbanyak ketakutan dalam dirinya, takut miskin, takut sampai mati tidak punya pasangan, takut menderita, takut sakit, takut malu di depan orang-orang. Sampai-sampai gaya hidup mereka jauh lebih penting daripada hidup itu sendiri. Siapa yang bodoh sekarang?

Kitab suci bilang, hidup ini permainan penuh tipuan. Ada lagu menyebut, hidup ini cuma panggung sandiwara. Ada filsuf meracau, hidup hanya menunda kekalahan dan sebaik-baik nasib adalah tidak dilahirkan.

Terlalu banyak nada sumbang tentang kehidupan. Kita tak juga mengerem diri dalam masalah keinginan. Setelah dekat kita ingin pacaran, setelah pacaran kita ingin tunangan, setelah tunangan kita ingin pelaminan, setelah pelaminan kita ingin keluarga, setelah keluarga ternyata tak bahagia kita ingin perselingkuhan, setelah ketahuan kita ingin baikan, setelah baikan ingin perubahan, setelah perubahan gagal kita selingkuh lagi, setelah semua kacau lalu bercerai dan ribut gono gini, lalu kawin lagi, dan membuat kacau lagi. Kalau saja dari awal benar-benar 'sadar' bahwa hidup bukan destinasi terakhir, cukuplah sampai menikah dan berusaha berkeluarga bahagia, ataupun sebelum pacaran mengerem diri untuk hanya sekedar teman, tak perlu cari-cari masalah, berusaha menyabarkan diri sampai akhir, toh hidup tak bernilai apa-apa dibanding hari kemudian, baunya pun tidak.

Hidup memang absurd.
Tugas kita mestinya adalah survive di tengah segala absurditas ini, for keeping our consciousness.
Bukan berusaha menjadi Tuhan dengan banyak-banyak keinginan, karena ini pengkhianatan.
Kita datang ke dunia tidak membawa apa-apa, jadi kalau sekarang kita tidak punya apa-apa, ya tidak apa-apa...

No comments: