Wednesday, January 18, 2006

Leo Nikolaivich Tolstoy



Saya beli juga buku Tolstoy (dia besar di akhir 1800-an) ke dua, setelah yang pertama (Ziarah) saya beli 2 tahun kemarin.
Buku kedua -Tuhan Maha Tahu, tapi Dia Menunggu - sama halnya dengan yang pertama, juga kumpulan cerpen. Saya lebih suka cerpen daripada novel. Dengan cerpen saya bisa lebih cepat memperoleh 'soul' cerita, jadi kalau tiba-tiba sesuatu terjadi, saya punya probabilitas yang lebih besar untuk meraih 'soul'itu lebih dahulu dibanding pada novel.

Awalnya saya pikir -karena Tolstoy orang Rusia- dia pengarang yang punya haluan komunis..ha ha bodoh sekali pikiran saya itu. Setelah saya baca cerpen-cerpen dan sedikit biografinya -saya tidak tahu apakah saya senang atau malah kecewa- saya baru mengerti kalau dia jelas-jelas berbeda dengan dugaan saya. Paling tidak, saya akhirnya tahu kalau Tolstoy adalah seorang yang sangat religius.

Satu hal yang saya dapat dari cerita-ceritanya: usaha peningkatan dalam Spritual Quotient. Jauh dari pikiran awal saya tentang komunis (mulanya saya pikir semua Russian = komunis) yang menyebut agama sebagai tipuan kamera atau fatamorgana kehidupan, Tolstoy telah menerobos jauh ke dalam dunia transendensi antara manusia dan Tuhan. Terkadang dia terlalu ekstrem dalam mencontohkan ketawadu'kan sosok manusia, seringkali pengungkapan kisah tragis seorang manusia yang nrimo atas segala kehendak-Nya, sebagaimana Tolstoy berkisah tentang Alyosha. Mungkin inilah yang membuat Tolstoy dianggap anarkis. Seolah dia mencintai akhir yang sangat absurd bagi tokoh-tokohnya, penilaian khuznul khotimal atau suul khotimah yang tentu menjadi milik/otoritas pembaca. Tetapi bukankah memang nilai atas segala sesuatu dalam kehidupan seringkali seperti 2 sisi uang logam, terpisah dalam jarak yang begitu tipis. Penilaian antara Mata Tuhan Yang Kudus dan mata manusia yang profan. Tolstoy mau mengajarkan dan membebaskan banyak orang dari dekadensi kesucian dalam paradigma manusia yang penuh nafsu, stigma dan teramat pragmatis...kisah bagus dalam judul translasi "Berapa Luaskah Tanah yang Diperlukan Sesorang?"

Tolstoy seolah membicarakan tentang makna dalam kehidupan. Dan tentu saja apa yang lebih puitis dalam hidup dibanding makna?
Pemaknaan itu jauh lebih berharga daripada hidup itu sendiri. Begitu banyak orang besar yang menggadaikan hidupnya demi pemaknaan, lihat saja Rasululah. Demi makna Ketuhanan beliau menolak kekayaan, beliau menolak tawaran keselamatan lahir batin dan memilih tetap berjuang di jalan Allah.

Kearifan spiritual adalah inti pembicaraan Tolstoy, bukan masalah bendera, bukan masalah jubah, bukan masalah janggut, bukan masalah masjid, bukan masalah gereja, bukan tentang fanatisme agama, bukan tentang tarbus dan surban, bukan tentang pengkafiran orang lain, bukan tentang penghujatan, tetapi semua tentang penyadaran ruhani pribadi-pribadi.
Sebab kita hidup di dunia ini tidak sendiri dan tentu saja punya arti...
Sebab percuma kita mengaku beragama namun saban hari kita cuma sekadar benalu bagi sesama..

No comments: