Saya ingat guru esempe saya yang namanya Bu Radiani (saya curiga dulu ortunya bermaksud menulis kata ‘radiasi’ di akta).
Bu Radiani ini mengajar beberapa mata pelajaran, yaitu PMP dan PPKn (sama ga seh??). Hingga hari ini, tak ada materi pelajaran apapun yang saya ingat telah diajarkan oleh Ibu yang satu ini (walopun saya sudah berusaha keras mengingatnya), kecuali satu hal, pada suatu hari beliau berdebat dengan teman2 sekelas selama 2 jam-pelajaran PENUH untuk membahas, manakah yang lebih tepat dalam mengucapkan “e” pada kata: BOLEH, yaitu ‘boleh’ (seperti oleh2), ataukah ‘boleh’ (“e” seperti pada “lele”).
Tak ada kata spakat, karena tak ada 1 pun murid yang mau mengikutinya untuk mengucapkan boleh spt yang kedua. untung saja, bel sekolah masih berfungsi...
Saat itu, untuk pertama kalinya saya memahami paradox demokrasi...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
woii bosok, met lebaran ya, sorry telat
"MAAF...
HARUSKAH SETIAP TAHUN HANYA SEKALI TERUCAP.."
jangan marah2x gitu dunk.
regards
didit..
Post a Comment