Sunday, May 14, 2006

Caffe


Walaupun masih kuat dengan tradisi lesehannya, tongkrongan di Yogya pelan2 berubah gaya. It's coffe (shop) time!!
Sebut saja Backyard Coffee, It's Coffee, Rumah Kopi, Djendela Coffee and Tea, serta banyak lagi yang lain. Belum lagi soal caffee (yang bukan cuma jual kopi), macam 7, Cheers, Java, Hugos, Espresso dan lain2 (mungkin akan datang Starbucks).
Dari segi pangsa, Yogya memang menjanjikan, terdapat lebih dari 300.000 mahasiswa yang sebagian berasal dari luar daerah dan siap membuang uang di kota ini. Dan anak muda (baca: mahasiswa) adalah mereka yang mencinta gaya hidup. Berhubung orang barat hobby nongkrong di kafe, maka para pecinta gaya hidup ini kemudian jadi ikut suka kumpul2 di kafe.
Yang jadi pertanyaan: apakah kafe hanya soal gaya hidup?
Mengadopsi budaya, seyogyanya juga mengambil inti khasanah budaya yg bersangkutan, kata orang sekarang, "soul-nya dapet". Bukan cuma kulit, bukan cuma soal mentereng petantang petenteng yang penting tampak keren.
Caffe, memegang peranan penting dalam kemajuan dunia barat. Pada dasarnya, caffe memiliki fungsi sosial, dapat dikatakan bahwa kafe adalah institusi sosial, dan dibangun oleh masyarakat, bukan soal gaya hidup.
Kafe "diciptakan" sebagai tempat untuk berdiskusi, pertemuan, bicara, menulis, membaca, atau memainkan sebuah permainan. Kafe buat orang barat, adalah tempat "di antara rumah dan luar rumah". Kafe adalah budaya, disebut qahveh di Persia, cafe di Perancis, dan perkembangan peradaban banyak bermula dari tempat ini. Sebut saja: pencerahan Perancis (Voltaire, Rousseau, Diderot) di Cafe La Procope (akhir 1600-an), resitasi Shahnameh di Iran (1500-an), yang pada abad2 berikutnya tetap menjadi institusi khusus bagi perkembangan ilmu2 filsafat lainnya. Dalam periode yang lebih modern, caffe telah menjadi tempat pertemuan yang bebas bagi orang2 dari beragam latar belakang (pekerjaan, asal muasal). Pemikiran2 terbaik, novel2 terbaik, lahir dari tempat ini...ingat saja Derrida, Dan Brown, Nietzsche, Gramsci..
Selalu ada tujuan yang produktif bagi pembentukan wahana2 budaya, dan ini (dalam sejarah barat) telah menjadi sesuatu yang bergerak maju sebara progresif.
Pertanyaan kedua: Apakah ini tujuan 'penciptaan' caffe2 modern termasuk di Yogyakarta?
Saya kuatir, jangan2 ini hanya akan menjadi tempat jual gengsi, afirmasi otak kosong kita yang memakan mentah semua tanpa tau isinya, atau malah menjadi arena transaksi narkotika atau prostitusi...saya kecewa, juga kasihan.
Kita tetap necis, dan bertahan "gaul" untuk sesuatu yang namanya dekadensi intelektual.
Kalau memang demikan, alangkah memalukan!!
Namun ada baiknya kita tunggu akhirnya..kita singkirkan preyudis.

2 comments:

Anonymous said...

caffe.. spellingnya cafe, kalo yg double f itu coffee :D
jangan marah ya :)

Anonymous said...

The most common spelling café is the French spelling, and was adopted by English-speaking countries in the late 19th century. Café can also be spelled caffè (the Italian spelling), especially if in Italy or if the café is owned by Italians. In southern England, especially around London in the 1950s, the French pronunciation was often shortened to kæf and informally spelt caff.

saranku: banyak2 baca buku mr/ms Commentator....