Sunday, May 28, 2006

Jogja 27 Mei

Pukul 6 pagi kurang 10 menit, di saat saya masih belum sadar benar dari tidur, tiba-tiba kamar saya berguncang hebat.Dengan kesadaran belum pulih sepenuhnya, tiba-tiba saya lihat rak buku di dinding ambruk, terlempar ke lantai, buku2 berhamburan, dan kursi terbalik. Klik juga di sini.
Hanya 1 hal yang ada dalam kepala saya, kalau Merapi mungkin sedang muntah. Dan saat itulah untuk kali pertama saya merasa kalau pintu kamar saya begitu sulit dibuka...Saya lari keluar kamar, bertelanjang dada (karena malam sebelumnya begitu panas) menuju jalan raya, dan saya lihat sudah banyak orang dengan wajah tak kurang bingungnya dengan saya.
Gempa terhebat yang pernah saya alami. Ada semacam sensasi, kepanikan luar biasa.
Saya ingat kata2 di kitab suci, bahwa saat hari akhir setiap orang hanya akan memikirkan nasibnya sendiri...dan sensasi itulah (disertai ketakutan akan sebuah hal yang saya tidak tahu pasti) yang saya rasakan saat berlari menuruni tangga dari lantai 2.
Setengah jam kemudian, saat saya pikir semua sudah aman, saya coba hubungi teman saya melalui ponsel. Ternyata jalur komunikasi putus total. Saya cari berita di televisi, tak ada satupun channel yang diketemukan..saya bingung, apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Akhirnya komunikasi dan siaran TV mulai normal, saya dengar gempa terjadi dengan 6,2 skala richter berpusat di Laut Selatan 33 km dari pantai.
Kemudian saya mandi (dengan asumsi gempa itu adalah satu-satunya). Saya keluar, beberapa gempa kecil terasa. Tiba-tiba saya dikejutkan suara orang2 berteriak Tsunami!!Saya berlari keluar rumah. Di pinggir jalan saya lihat, beratus2 orang berlari sambil berteriak-menangis, bersepeda, memakai motor, serta bermobil, semuanya menuju arah ringroad utara ke arah kaliurang. Saya tanya ada apa? orang bilang air laut sudah mencapai ringroad selatan...Saya sempat tak percaya, karena Tsunami cuma butuh paling lama 20 menit dari gempa terbesar, dan ini sudah lewat 2 jam.
Tetapi sekali lagi, kepanikan adalah lautan emosional, samudera kekhawatiran, ketidakpastian yang sudah menembus batas2 penalaran, semua mungkin saja...itu kata akhirnya. Namun saya tidak ikut lari.
Beberapa jam kemudian dari televisi saya dengar korban tewas sudah 100, siangnya mencapai 300, dan pada malam hari angka 3000 jiwa terlampaui, dan kini mendekati 5000.Gedung2 banyak ambruk, rumah2 rata dengan tanah, orang2 kesakitan, sekarat dan meninggal di reruntuhan, di jalanan, di bangsal dan palataran rumah2 sakit..
Gempa dalam saat yang kurang dari 3 menit, terbayarkan oleh 4000 jiwa manusia.Sebuah musibah. Sungguh begitu cepat, begitu tak terasa untuk bisa merenggut begitu banyak nyawa. Saya selamat, dan saya setengah tidak percaya.Kejutan emosional, seperti ingin menangis, seperti ingin tertawa
Pertanyaannya, apakah arti sebuah musibah bagi kita?
Saat atap sudah menyentuh lantai, barulah kemudian kita bisa dengan jernih memutuskan: siapakah yang lebih berkuasa?
Selanjutnya kita sadar bahwa kita begitu rentan, begitu mudah kesakitan, begitu mudah tertekan, dan dengan gampang terseret menuju kematian...Kecamuk pikiran tentang ketidakamanan, ketidakpastian, kemungkinan2, batas tipis antara hidup dan kematian, manusia hanyalah sebintik kecil debu di sudut tergelap galaxy...lalu kita bukan apa-apa.
Dan saat semuanya terobjektivikasi, orang2 menangis, ibu2 histeris sesaat, untuk kemudian terdiam...
Musibah selalu mengajarkan lebih banyak daripada kegembiraan..dan untuk hidup, kita harus banyak belajar.

No comments: