Belum dua minggu gempa berselang. Orang-orang kaya meneguhkan dirinya dalam bantuan-bantuan. Dan jarak antara mereka dengan yang tersengsarakan bukannya menyempit, bahkan sebaliknya. Peneguhan eksistensi posisi diri dalam piramida otoritas ekonomi. Relawan-relawan bahagia dan tertawa di atas rintihan kesakitan dan helaan sulit nafas-nafas korban. Selalu ada korupsi di dalam segala hal. Peneguhan eksistensi sebagai 'yang diperlukan' di seling lautan sekarat jiwa-jiwa 'yang membutuhkan'. Sebagai sebuah kenikmatan, ini memang menyenangkan. Namun nafsu muthmainah bukanlah sesuatu yang diharamkan, ia memang dibolehkan. Sebab manusia tidak ada yang benar-benar puritan, tidak ada yang memiliki kemutlakan asketisme...filantropi-filantropi yang mencuri kecil-kecilan. Di jalanan laki perempuan berbaris memohon orang-orang lewat. Mereka lebih memilih menengadah daripada mencangkul di sawah. Mereka lebih senang meminta di depan jepretan kamera pendatang dibandingkan mengurus ladang. Mereka ramai berebut sembako sambil melupakan apa itu tepo seliro. Orang-orang lapar. Gempa telah menggetarkan kesadaran, menggegarkan budaya. Dalam bencana moral diangkat, moral diruntuhkan. Berjamaah mereka mencinta sesama, berjamaah mereka kembali pada pengakuan diri. Allah Subhana Wata'ala, maafkan selalu dosa-dosa dalam setiap helaan nafas kami...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment