Pukul enam suatu pagi, dalam usaha keras menyelesaikan sebuah buku sambil tiduran di kursi panjang, saya menemukan suara berkecipak dalam sebuah gelas berisi sirup setengah penuh. Karena kemudian suara itu benar-benar mengganggu kesibukan saya memvisualisasi sebuah kisah, maka saya perhatikan ia baik-baik. Ternyata seekor cicak sekarat tampak sedang berusaha mati-matian mengeluarkan diri dari cairan kekuningan dalam gelas, yang jelas-jelas sudah berhasil menenggelamkannya, paling tidak untuk beberapa menit sebelumnya. Saya ambil cicak itu dengan sendok, saya lempar keluar gelas. Diam beberapa saat, setelah itu dia lari, mungkin karena tahu kalau dia tidak jadi mati.
Akhirnya saya terpikir sejenak, tentang cicak, saya lupakan dulu kisah buku itu sebentar. Saya bertanya dalam hati: bagaimana hewan-hewan di sekitar saya jika mereka telah sampai pada saat untuk mati? Dan mengapa saya tidak pernah melihat burung2 yang mati tua jatuh berkelotakan seperti batu dari angkasa? Bukan karena tewas. Hanya mati. Karena tua, karena saatnya memang sudah tiba. Saya menyadari bahwa sebelumnya saya tidak pernah –atau tidak tahu- bagaimana hewan-hewan kecil itu mati. Nyamuk, lalat, cicak, kecoak, burung, kadal, tokek, tikus, ngengat. Saya sering lihat bangkai cicak di antara engsel pintu-pintu kamar mandi, kamar tidur, dapur, di bawah pijakan meja, lipatan buku tebal, di dalam gelas-gelas, terjepit di dinding, dimakan kucing. Saya pernah lihat bangkai nyamuk gepeng di dinding dengan bekas-bekas darah –setelah gerakan refleks saya semalam membuat ia terdampar di situ-, bangkai nyamuk di jala-jala raket berlistrik,di bawah meja sehabis disemprot HIT yang juga efektif membunuh manusia. Tikus-tikus menjadi kerupuk di jalan aspal, menjadi repihan di leleran sisa makanan mulut kucing. Kecoak yang terinjak sandal-sandal, dikepruk koran dan sikat WC, tenggelam di lubang-lubang bau busuk. Mereka mati konyol. Saya tidak pernah melihat salah satu di antara mereka mati karena tua. Mungkin saya tidak tahu. Bahwa mungkin hewan-hewan yang mati konyol adalah hewan-hewan yang sudah ditentukan untuk mati dalam sebuah pengambilan slot, di kumpulan mereka. Mereka yang tewas adalah yang memang sudah tua dalam sebuah pembunuhan direncanakan yang memanfaatkan manusia atau benda-benda. Bahwa mungkin cicak-cicak mengubur diri di antara engsel-engsel dan meja-meja. Atau takdir memang menggariskan hewan-hewan itu untuk mati muda dalam suatu tragedy yang tidak lucu. Atau mungkin hewan-hewan yang benar-benar tau saatnya mati, memilih menyembunyikan diri di suatu tempat, seperti kawanan gajah di film Simba. Sehingga akan sangat jarang manusia –yang tentu saja punya kesibukan lain yang lebih penting- menemukan kuburan itu.
Akhirnya saya memutuskan untuk tidak tahu. Dengan harapan beberapa saat nanti toh saya akan lupa. Seperti biasa…seperti orang-orang lain.
.
No comments:
Post a Comment