Monday, June 19, 2006

Semrawut


Semua bilang arus sumbangan korban bencana alam semrawut. Manajemen mitigasi dan peringatan dini semrawut. Masalah informasi dan penjelasan pemerintah tentang gempa, Merapi, dan korban-korban juga dikatakan semrawut. Semua menyebut kata semrawut, seolah hidup di negara ini bukanlah sesuatu yang diwarnai kesemrawutan. Semua berkomentar :semrawut, seolah urusan individu-individu tsb sudah teratur, teregulasi secara taken for granted sejak orang2 itu lahir dan nongol di bumi. Mantan presiden KM UGM Nur Hidayat pernah berbicara dengan saya suatu kali, dia bilang kalau sekarang orang2 lebih suka (punya kecenderungan) berpikir -dengan meminjam bahasanya- "apatis yang berbasis a priori". Bahwa hidup di negara ini susah, segala sesuatu sudah semrawut, sejak mengurus surat nikah, acara pernikahan, surat cerai, urusan imunisasi di posyandu atau Puskesmas, masalah pajak, masalah gaji yg kena sunat terus, masalah hiburan di TV yg mengkhawatirkan, masalah inflasi dan kenaikan harga susu dan sayuran, masalah angkutan umum yang penuh calo dengan tarif g pernah beres, tabrakan kereta dan pesawat yg berjatuhan seperti mangga busuk, urusan buat SIM dan perpenjangan STNK, tilang-menilang, urusan uang sekolah anak2 yang mahal, ormas-ormas yang lebih parah dari maling, masalah ASKES dan manajemen kesehatan, sampai-sampai orang mati kesulitan buat surat keterangan wafat..praktis, dari lahir sampai almarhum rakyat di negeri ini terikat-terjalin-terpelintir-terjerat-carut marut kesemrawutan. Sehingga apa kemudian yang lahir di benak2 mereka? Tidak lain bahwa: semua hal yang berkaitan dengan pemegang otoritas negara ini pasti akan menimbulkan kesemrawutan. Tidak ada manajemen yang tidak semrawut. Hasilnya, jangankan mengurus korban bencana beribu-ribu jiwa, andaikata pemerintah bermaksud membuat 1 biji tong sampah pun, tidak ada yang tidak bakal berkomentar. Secara mental, terdapat dislokasi dan kesenjangan yang dilebih-lebihkan antara realita dan idealita oleh manusia2, bahkan mungkin saking a priorinya, kenyataan menjadi sama sekali tidak penting, dan komentar tentu saja no 1. Saya yakin, mayoritas orang2 yang berpenyakit komentar tsb tidak pernah menyaksikan (bahkan mungkin tidak mau tahu) kejadian apa sebenarnya yg ada di Bantul atau Klaten. Kesengsaraan korban, kelelahan relawan, kejenuhan tim medis, pusingnya tentara dan pemerintah wilayah, bingungnya menteri-menteri dan SBY. Bukankah kalau rumah anda kotor dan anda melihat rumah orang lain tampak lebih kotor, maka anda akan jadi lebih bahagia, apalagi kalau bisa komentar sana-sini.
Saya pikir, kalau semua sudah pernah merasakan bahwa hidup memang semrawut, maka berhentilah berkomentar. Tak ada yang bisa diperbaiki dengan itu.
Semasih kita punya lebih banyak waktu untuk berleha-leha dibandingkan keinginan membantu mereka, maka tak ada pentingnya komentar...
Semasih kita lebih sayang pada harta kita dibanding nyawa atau nasib sesama, maka tidak perlu berkomentar...
Semasih Bapak-bapak hoby korupsi di ruang2 ber-AC, berhentilah berkomentar...
Semasih anda berniat untuk langsung mencuci tangan setelah bersalaman dengan para korban, berhentilah berkomentar...
Semasih Mbak2 artis langsung ke hotel,spa, dan salon setelah berlagak meninjau lokasi bencana, masukkan kembali komentar itu ke pantat masing-masing...
Semasih kita cuma bisa ngomong tetapi tak pernah mau berpikir bagaimana menyelesaikan, maka lebih baik kita diam...
Semasih saudara tidak perduli dengan nasib korban2 yang berencana bunuh diri, lebih baik saudara makan sendiri komentar2 itu...
Dan suatu hari, seorang ibu tua dengan pandangan menerawang melihat dinding2 yang tersisa, berkata, "mereka, orang2 kaya itu datang, melihat-lihat, memberi sedikit uang, sambil berdiri di atas sepatu2 mahal mereka menginjak-injak tikar alas tidur kami.."
Semrawut? Siapa sebenarnya yang semrawut....

No comments: